Togog (bali : patung) |
Di setiap banjar adat di Bali selalu dicirikan oleh adadanya Khayangan Tiga. Tiga yang dimaksud ialah tiga buah pura atau tempat pemujaan yang terdiri dari Pura Puseh, Pura Baleagung, dan Pura Dalem Setra. Kalau membicarakan pura-pura di Bali tidak bisa lepas dari unsur kekuatan supranatural dan nilai-nilai magisnya. Demikian pula di Banjar Adat Selatpeken, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Pura Dalem Setra berada di sebelah selatan desa, dengan jarak satu kilometer dari perumahan penduduk. Jarak yang sedemikian itu, karena pura Dalem Setra harus bersekatan dengan wilayah sema/setra (makam).
Kalau memasuki pura tersebut ada anak tangga yang harus dilewati karena Pura berada kurang lebih lima meter lebih tinggi dari permukaan jalan. Seperti pura-pura lainnya di Bali Pura Dalem Setra Selatpeken tersebut terdiri dari tiga bagian, yaitu nista mandala (bagian luar), madya mandala (bagian tengah), dan utama mandala (bagian paling dalam). Di bagian nista mandala, setelah anak tangga pengunjung akan disapa oleh dua buah togog penjaga pintu masuk (patung dwarakala) yang di sebelah kanan dan kiri gerbang pintu masuk (candi bentar). Bentuk patung tersebut adalah raksasa atau durga setinggi satu meter lebih. Dengan bentukan pondasi patung, maka kedua patung tersebut lebih tinggi dari ukuran manusia yang sebenarnya.
Kedua buah patung tersebut termasuk patung yang sudah berumur, karena tetua setempat sudah mewarisinya dari generasi sebelumnya. Dengan demikian patung tersebut diperkirakan sudah berumur lebih dari tiga generasi, dan tidak diketahui pasti siapa yang membuatnya. Dilihat dari gaya dan ukiran kedua patung tersebut, tergolong cukup seni. Bentuknya bagus, seperti bentuk rangga dalam lakon calon arang. Penulis mengetahui pasti sewaktu ada renovasi di pura tersebut yang telah berlangsung dua kali, patung durga penjaga pintu gerbang pura tersebut tidak pernah tersentuh perbaikan. Patung dalam bahasa balinya disebut togog. Togog tersebut masih tetap berdiri tegak dan ukurannya pun masih utuh belum ada yang lapuk, walau sudah berumur.
Di depan para Dalem Setra tersebut adalah jalan umum, menuju ke sawah di sekitarnya maupun menuju ke kuburan atau juga ke tempek pondokan yang masih dalam wilayah Banjar Adat Selatpeken. Dengan demikian setiap saat ada saja orang yang lalu lalang. Pengalaman dari mereka yang lalu lalang itulah bahan tulisan ini dikumpulkan, yang sudah menjadi suatu kesimpulan keyakinan orang-orang kampung di situ.
Tidak semua orang mengalami kejadian itu memang benar, tetapi bagi yang mengalaminya cukup memberikan pelajaran berharga untuk selanjutnya mungkin akan merasa kapok sendiri. Yang mengalaminya adalah mereka yang lewat di depan pura tersebut saat-saat kritis menurut peredaran waktu seperti, tengai tepet. (tepat siang hari pukul 12.00), sarumua (peralihan dari siang ke malam hari), dan malam hari. Mereka menyaksikan lebih dari satu kali dan dengan pengalaman yang sama. Patung tersebut seperti bernafas, hidup dan bergerak-gerak. Bukan hanya itu, patung tersebut seperti menari bagaimana layaknya tarian rangda, dan beralih tempat; yang di kiri ke kanan dan yang di kanan ke kiri. Jarak antara kedua patung tersebut sekitar tiga meter, dan jarak antara jalan umum dengan patung berkisar tujuh meter, jadi masih dalam pengelihatan terang manusia. Penduduk setempat, pada saat-saat kritis tadi tepat berada di jalan di depan pura tersebut dan tanpa disadari menyaksikan kejadian itu. Mereka yang menyaksikan hal itu, akhirnya menyadari untuk tidak berada di tempat tersebut atau menghindar dari tempat itu pada saat-saat kritis tersebut.
Sewaktu penulis mendengar cerita tersebut, penulis konfirmasikan kepada tetua setempat, kebetulan ia adalah kakek penulis. Ia adalah seorang tetua adat dengan fungsinya sebagai jero gede, seorang balian, sastrawan, seniman dan sebagai seorang bendesa adat. Sudah tentu beliau mengerti akan alam gaib karena menguasai ilmu kedyatmikan. Kakekku menjelaskan : "togoge ento mula saya hidup, tenget; pekak suba napetang keketo" (patung itu memang hidup/ada jiwanya, angker, kakek sendiri sudah mewarisi seperti itu). "Bisa saja patung itu menampakkan dirinya supaya dilihat oleh manusia. Kalau itu terjadi sepatutnya harus disyukuri, karena diijinkan Tuhan menyaksikannya. Biasanya orang-orang akan takut terlebih dahulu. Kalau kebetulan sempat melihatnya dengan tanpa ada rasa takut berarti memang diijinkan untuk melihatnya. Sekali lagi hal itu perlu disyukuri". Demikian penjelasan yang diperoleh saat itu.
Lalu mengapa togog bisa hidup ? Kekuatan gaiblah yang sudah memberikan jiwa kepada patung tersebut. Seperti halnya pohon besar, atau batu besar, makhluk halus atau kekuatan tertentu bertempat di situ. Hal itu menyebabkan benda-benda itu menjadi tampak agak beda dan membuat lungkungannya menjadi angker. Mengenai patung rangda dwarakala tersebut, masyarakat setempat sudah memahami sekali, sehingga kalau memang sedang upacara di pura tersebut tidak ada seorang pun berani sengaja meraba-raba patung itu. Hanya Jero Mangku Pura itu saja yanf berani memasang atribut/busana patung itu.
No comments:
Post a Comment