Berpikir seimbang agar hidup berkualitas
Berpikir seimbang terjadi ketika pancaindera menangkap citra suatu objek. Pancaindera ini kemudian merangsang saraf untuk menghubungkannya dengan bagian penyimpan memori di otak kita. Rangsangan tadi biasa kita sebut keinginan. Keinginan yang terkumpul dan terakumulasi kita sebut sebagai pikiran.Pikiran ini kemudian memberi komando pada bagian-bagian tubuh motorik untuk menyatakan diri, merealisasikan diri, dan eksis dalam aktivitas kehidupan. Hal ini terjadi terus-menerus setiap detik tanpa henti "itulah kehidupan".
Bila pikiran berhenti atau keinginan menghilang, eksistensi kehidupan terancam. Dan bila hal ini berlangsung terus, kehidupan akan kehilangan eksistensinya. Manusia mati karena keinginannya untuk hidup telah hilang. Separah apapun manusia menderita sakit, dia akan bertahan bila keinginan hidupnya masih menyala. Namun, bila kemudian menyerah karena tidak lagi bisa menerima kondisi jasmaninya dan kehinginan hidupnya hilang, dia akan mati.
Istilah kematian klinis menggambarkan hal itu dengan jelas. Secara fisik, orang dinyatakan mati, misalnya karena jantungnya berhenti berdetak beberapa saat. Kemungkinan hidupnya kembali ada, sepanjang masih terdeteksi gelombang listrik di otaknya. Brain dead atau mati otak adalah keputusan final tentang mati hidupnya seseorang dalam dunia medis. Meskipun bagian tubuh lainnya tidak bermasalah, tetapi bila terjadi "kematian" otak, keputusannya jelas, mati! Hal ini bisa dilihat pada alat elektroencephalograph (EEG) yang mampu menangkap getaran frekwensi otak dalam bentuk sinyal garis dan tone. Seseorang dikatakan mati apabila alat tersebut tidak lagi menangkap sinyal getaran frekuensi otak itu.
Dengan demikian, bisa didefinisikan secara sederhana bahwa kehidupan adalah kumpulan atau akumulasi dari keinginan yabg membentuk pikiran (mind) dan berlangsung terua-menerus sebelum manusia mati. Ini berarti, nilai atau kualitas keinginan-keinginan yang kemudian terakumulasi menjadi pikiran itu sangat menentukan kualitas kehidupan itu sendiri.
Tampak bahwa pancaindera memegang peranan penting dalam mempengaruhi atau membentuk keinginan. Apa yang dilihat atau dirasakan akan mempengaruhi bentuk keinginan. Apa yang dilihat atau dirasakan akan mempengaruhi bentuk keinginannya. Bila indera pengelihatan kita menangkap citra suatu objek berwarna merah atau dipersepsikan sebagai merah dan kemudian dikirim ke otak, otak akan memutuskan untuk berbuat sesuatu dengan bertanya dulu kepada "bagian arsip" yang menyimpan memori. Ketika "bagian arsip" memberikan jawaban bahwa merah adalah tanda bahaya, otak mengolah tindakan apa yang harus diambil : melawan, lari atau menyiasati. Keputusan akan diolah dan dimplementasikan oleh bagian yang bertugas, yaitu motorik tubuh. Seperti dikemukakan di atas, seluruh proses ini terjadi dalam pikiran setiap saat.
Di dalam otak, memang telah disediakan "program-program" dengan karakter dengan karakter tertentu untuk melangsungkan kehidupan secara utuh. Program-program itu tersedia dalam kapasitas yang tidak terbatas. Yang harus kita lakukan hanyalah belajar bagaimana mengaktifkan program itu : mencari "saklar on-off" untuk menghidupkannya dan kemudian menguasai cara penggunaan saklar itu dengan sebaik-baiknya.
Bila program itu aktif dalam kapasitasnya yang optimal, apa pun yang ditangkap olrh pancaindera dan membutuhkan respons akan mendapatkan olahan yang pas dan berkualitas. Manusia pun akan mendapatkan kualitas kehidupan yang maksimal. Bahkan bukan hanya kualitas kehidupan jasmani, tetapi juga kualitas kehidupan rohani dan kehidupan sesudah kematiannya.
Berpikir akhirnya merupakan sesuatu yang sangat penting, bahkan terpenting dari seluruh kehidupan. Kehidupan, menurut saya, justru adalah pikiran itu sendiri.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa merumuskan makna berpikir adalah suatu kesia-siaan. Berpikir tidak bisa dilihat dan tidak bisa didefinisikan. Ia adalah sesuatu yang abstrak dan tidak nyata. Berpikir juga dianggap tidak ada. Beberapa orang ahli menyatakan bahwa melihat respon tingkah laku sudah lebih dari cukup dan lebih bermanfaat daripada membicarakan pikiran.
Para ahli pada sekitar tahun 1940-an merumuskan bahwa pikiran pada dasarnya adalah kognisi, yaitu kumpulan dari bahasa, memori, analisis, menghitung waktu, dan memecahkan masalah secara nyata, setahap demi setahap, serta terhitung. Gelombang pendapat ini kemudian sangat mempengaruhi cara-cara orang menjalani hidup. Dalam pendidikan formal ataupun norma-norma umum, masyarakat berpegang pada teori kognisi itu.
Pendidikan formal berkiblat sepenuhnya pada teori kognisi itu. Metode pendidikan kemudian bertumpu pada memorisasi, suatu cara mendasar di dalam otak yang sementara ini dianggap sangat luar biasa. Otak dianggap sebagai tangki kosong yang punya kemampuan menyimpan memori dan mengeluarkannya kembali secepat kilat apabila dibutuhkan. Masyarakat terkagum-kagum dengan otaknya yang ternyata memiliki kemampuan untuk mengingat-ingat semua hal yang pernah dilihat, didengar, atau dirasakan secara nyata dan fisik.
Psikologi, terutama yang berkembang di eropa, mengekspor teori ini ke seluruh dunia. Pada masa penjajahan di indonesia, teori kognitif ini disebarkan baik secara formal maupun non-formal. Teori ini dalam berbagai aplikasinya juga digunakan untuk tujuan penjajahan itu sendiri.
Namun, teori ini tidak bertahan lama sebagai teori tunggal tentang otak dan berfikir. Teori psikologi yang bermula di Jerman dan berkembang di Amerika Serikat ini akhirnya mendapatkan banyak teori tandingan. Salah satunya adalah psikologi Gestalt yang berbicara mengenai bentuk, pola, dan gambaran ruang yang bersifat menyeluruh. Kemudian, juga muncul teori affective sebagai bagian lain dari pola berpikir, di samping kognitif. Orang pun menyadari bahwa berpikir memang memerlukan suatu keutuhan karakter program, bukan semata-mata kognisi.
Gelombang pemikiran ini sebetulnya bukanlah sesuatu yang baru. Jauh sebelum masehi, orang sudah mengetahui hal ini meskipun belum dalam bentuk teori psikologi. Mereka tahu bahwa untuk mendapatkan kehidupan yang utuh orang harus berpikir secara utuh pula. Kehidupan yang utuh itu hanya bisa dicapai bila orang hidup sesuai denfan desain sang pencipta, yakni dengan tidak membeda-bedakan organ tubuh secara berlebihan dan menciptakan persepsi sendiri di luar rancangan-Nya.
Pada masa itu, para guru, Avatar, dan Master membuat latihan-latihan yang memungkinkan manusia hidup dalan kualitas maksimal, kualitas yang utuh. Berbagai tekhnik latihan, baik yang melibatkan fisik maupun psikis/pikiran dan bahkan jiwa, dirancang secara penuh dan dari masa mengalami ujian serta mendapatkan bukti keberhasilan.
Pencerahan dan berbagai bukti yang sekarang tergambar dalam kitab-kitab memperlihatkan betapa pada zaman yang masih sedemikian sederhana, ternyata banyak ritual yang mengandung tekhnologi mutakhir dan itu diciptakan oleh para nabi dalam situasi yang tak terpikirkan oleh kita saat ini. Dari mana mereka menemukan hal-hal yang mengandung tekhnologi tinggi itu ? Itulah kekuatan pikiran, daya intrinsik yang timbul karena terjadinya keseimbangan dalam pola berpikir dan berkesadaran.
Ritual-ritual sholat dalam islam, misalnya, mengandung berbagai kemampuan dahsyat untuk menghalau berbagai macam penyakit, seperti lever, masalah-masalah kardiovaskuler, dan sebagainya. Setiap gerakan sholat, setiap ucapan, vibrasi, tarikan dan hembusan nafas yang diatur sedemikian rupa, serta durasinya, seluruhnya merupakan suatu rangkaian kriya yang mengandung nilai-nilai tinggi dalam menyelaraskan jiwa, tubuh, dan pikiran manusianya.
Dalam konteks zaman dahulu, berpikir merupakan suatu cara untuk berkomunikasi dengab sang Pencipta. Mereka berpandangan bahwa berpikir berarti melakukan komunikasi dengan Hyang Widhi. Berpikir adalah suatu langkah dan cara menyadari kehidupan dan bukan justru melupakannya. Lalu, mereka mengusahakan proses berpikir menjadi suatu proses dan ritual yang tidak hanya berkesadaran rasional. Inilah berpikir yang juga melibatkan sub-consious ataupun supra-conscious : berpikir dalam dua siai dan dua pola, otak kanan yang non-verbal dan otak kiri yang rasional.
Dalam dunia modern, berpikir seringkali hanya dianggap sebagai sesuatu yang rasional. Orang modern menganggap berpikir adalah proses yang terjadi begitu saja dan tidak terlalu perlu disadari detailnya. Bahkan orang teramat bangga bila merasa dirinya adalah manusia yang sepenuhnya berpikir secara otomatis dan mekanis kita berpikir, semakin modern pulalah kita. Berpikir juga dilupakan sebagai gambaran kehidupan dan eksistensi kehidupan itu sendiri. Dengan berpikir seperti itu, manusia kehilangan wajah aslinya. Manusia hanya menjadi sebuah manusia dan bukan seorang manusia.
Dalam bahasa Jawa, dikenal ungkapan "nguwongke wong" memanusiakan manusia atau mengorangkan orang. Ungkapan ini menggambarkan bahwa sesungguhnya banyak orang yang belum jadi orang dan betul-betul manusia. Manusia perlu di-manusia-kan lagi agar kehidupan menjadi sebuah kualitas, bukan sekedar tampilan fisik dan materi yang berbentuk manusia yang bisa bergerak, bernapas, dan doyan makan.
No comments:
Post a Comment