Wanita Bali yang sedang hamil
Hari itu sore hari. Aku berada di tempat praktek, sebagai seorang dokter umum. Haru itu di pertengahan tahun 1996. Salah seorang langgananku datang, yang sudah beberapa bulan sebelumnya tidak pernah berkunjung. Sebelumnya, ia selalu rajin datang memerikskan istrinya yang dinikahinya lima tahun lalu, ternyata baru bisa hamil. Ia bangga dengan kehamilan istrinya itu. Makanya, ia datang secara teratur memeriksakan kehamilan istrinya ke tempatku praktek dokter. Memang ia betul-betul hamil.
Ia tinggal di kawasan Kuta, namanya I Ketur. Aslinya ia berasal dari wilayah Gianyar, bekerja pada seorang asing sebagai sopir dan merangkap pembantu di rumah. Karena ia bekerja dengan rajin, maka ia disayang oleh majikannya. Istri I Ketut asli orang Kuta, dan karena perkawinannya itu ia diijinkan tinggal di rumah istrinya di Kuta.
Dalam perjumpaan yang tidak diduga itu langsung aku bertanya, "Hai Ketut, apa kabar? ", ia datang sendirian saja. Ia menjawab, "Pak dokter saya pilek dab panas, sejak kemarin." Setelah diperiksa sebagaimana biasanya, maka aku pun membuat diagnosa penyakit I Ketut dengan Influensa biasa. Setelah diberikan resep dan ia membayar jasa dokter ia pun siap untuk meninggalkan tempatku. Sebelum ia keluar dari tempat praktekku aku tanpa sengaja bertanya. "Bagaimana kabar istri dan anakmu tut ?". Pertanyaanku itulah yang membuat ua duduk kembali di kursi untuk pasien dan dengan rasa sedih menceritakan kejadian istri dan anaknya.
Pak dokter, rupanya nasib saya memang seperti ini. Istri saya sudah meninggal bulan lalu", demikian ucapannya dengan raut muka yang sedih. "Apa ia meninggal saat melahirkan?" tanyaku lagi. "Tidak dokter, kejadiannya begini. Umur kehamilan istri saya sudah lewat dari biasanya. Di Banjar saya ada tiga orang hamil yang sebaya dengan umur kehamilan iatri saya, semuanya sudah melahirkan. Hanya istri saya saja yang belum melahirkan. Karena itu, saya periksakan kepada ibu bidan yang menanganinya, sevelumnya tidak ada gejala yang mencurigakan. Lalu pada suatu hari istri merasa tidak enak badan, dan disertai perasaan kebingungan. Ia merasa seperti ada perintah untuk mengejar seseorang. Ia pun berlari cepat mengejar seseorang ke arah barat sampai di pantai dan langsung menceburkan diri ke laut. Dalam kejadian itu, ia sempat ditolong dan diselamatkan serta dibawa ke RS Sanglah. Sampai di RS ia meninggal. Saya baru tahu setelah meninggal di RS. Padahal sehari sebelumnya tidak apa-apa. Waktu di RS karena ia dikatakan meninggal saya menwrobos masuk untuk menemui dokter yang memeriksanya. Dokter menjelaskan memang istri saya sudah meninggal karena tenggelam di laut. Saya teringat dengan kehamilannya, teringat pula dengan kepercayaan di Bali, orang yang meninggal tidak boleh "ngandut manik". Kehamilan harus dikeluarkan dari perutnya. Lalu saya tanya kepada dokter tentang kehamilan istru saya. Dengan tenang dokter menjawab bahwa istri saya tidak dalam keadaan hamil Mendengar jawaban dokter seperti itu, Ketut kembali memberikan jawaban tentang kehamilan istrinya. Sampai-sampai dokter yang memeriksa mengajak untuk melihat bersama bahwa korban istri I Ketut tidak hamil. Karena dengan sedikit keributan itu maka datang pula dua orang dokter yang sedang ada di situ, dan secara bersama-sama menyaksikan bahwa tubuh jirban dalam keadaan tidak hamil, dan ketika dipersilahkan melihat jasad korban memang tidak ada tanda kehamilan berupa perut yang membuncit dan pembesaran dari kedua susunya.
Seketika itu, I Ketut jatuh lunglai, sempat menghilang ingatannya sebentar. Ia menjadi bimbang dan ragu apa pula gerangan yang telah terjadi kok kehamilan yang sembilan bulan lebih bisa hilang begitu saja. Dia diam seribu bahasa sebagai protes berat terhadap kejadian yang telah menimpa istrinya itu. Korban didiagnosis kematian akibat tenggelam.
Mayat dibawa pulang serta diupacarai sebagaimana mestinya. Dalam proses itulah I Ketut melihat sendiri bahwa perut istrinya memang kempes tidak ada tanda-tanda bahwa ia hamil. Garis-garis hitam pada suaunya yang sewaktu masih hidup sangat jelas pun menghilang dan besar susunya kembali normal. Ia dan keluarga terdekatnya juga heran atas kejadian itu. Kenapa itu bisa terjadi? Demikian I Ketut menceritakan kepadaku.
Setelah proses pemakaman selesai dilaksanakan, berselang beberapa harinya ia dan mertuanya berusaha untuk berkomunukasi dengan sang istri yang sudah tiada lewat media seorang balian. Balian yang dihubungi itu sangat terkenal dan memang banyak pasiennya. Karenanya ia harus mendaftar terlebih dahulu, dan saatnya datang ia harus datang sehari sebelumnya untuk mendapatkan gilirannya. Ia ditemani mertuanya. Pada saat gilirannya tiba, maka diceritakan maksud dan tujuannya. Balian pun berproses sebagaimana mestinya supaya diijinkan berkomunikasi dengan roh orang yang meninggal, dan persis menyambung. Mulailah terjadi dialog, dimulai dengan menyebut Nama-nama siapa keluarganya yang datang itu. "Beli Ketut suamiku, ibu-bapa tercinta, bibiku yang sempat datang", demikian pembuka katanya. Kontan saja semua orang yang mendengarkan di situ ikut terbuai dalam situasi kejiwaan yang sedih.
Sang Balian
"Yah keluargaku semua janganlah bersedih, memang ada seseorang yang menginginkan saya tidak hidup, dan itu sudah terencana sejak lama. Saat saya hamil inilah ia berhasil melakukan niatnya. Sewaktu saya lari ke barat sampai ke pantai, saya mengejar bayi yang saya kandung. Saat itu bayi saya dicabutnya dari kandungan saya. Semua gejala hilang sehari sesudahnya. Saya adalah korban ilmu hitam. Tetapi beli Ketut suamiku, dan bapak-ibu janganlah bersedih. Dari dunua sana saya akan membalasnya. Ibu-bapak tercinta, tolonglah ajak suami saya di rumah bapak. Beli Ketut boleh kawin lagi, tetapi sebelumnya katakan padaku siapa calonmu. Aku selalu berada di sampingmu, makanya setiap beli Ketut mau ke mana katakan padaku, dengan menyebutkan itu di tempat tidurmu. Saya akan merestui aemua itu. Saya ikut menjaga keselamatanmu. Satu lembar kainku masih ada di rumah, biarkan itu agar selalu ada di sampingmu, sebagai pertanda diriku", demikian ucapan roh sang istri kepada suami dan orang tuanya, dengan suara persis suara aslinya.
Dengan ucapan tersebut sang suami, kedua orang tuanya serta bibinya menjadi pasrah, percaya dengan nasib. Sejak itulah kehidupan mereka secara berangsur-angsur kembali ke arah normal, bebas dari rasa sedih.
No comments:
Post a Comment