Leyak Bali
Tersebutlah seorang lelaki desa yang berpendidikan. Ia bernama I Gede Tambun (bukan nama sebenarnya) dari banjar Abian Poh (bukan nama sebenarnya) di Denpasar Selatan. Ia bagian dari generasi muda di banjar tersebut. Dari sekian anak-anak pada jamannya memang dialah seorang diri yang mau bersekolah ke Denpasar. Akhirnya, ia mempunyai ijazah pendidikan guru. Oleh karena itu, ia pun menjadi guru. Pekerjaannya itu ia lakukan dengan penuh dedikasi, sehingga berhasil memeniti karir sebaik-baiknya. Pada akhirnya ia pun mempunyai jabatan sebagai pemilik atau pengawas di sekolah dasar. Saat tulisan ini dibuat yang bersangkutan sudah pensiun, tetapi masih sehat dengan segala kegiatan fisiknya setiap hari. Sebagai orang desa walaupun sudah menjadi pegawai negeri (guru) ia tetap terlibat dengan teman dan warga di banjarnya, tanpa ada rasa perbedaan bahwa ia orang sekolahan. Hububgan dengan seluruh warga wajar dan normal-normal saja. Yang membedakan hanyalah saat pagi ia mengajar sebagai guru Sekolah Dasar. Oleh karena itu, teman-temannya yang tidak sempat mengenyam bangku sekolahan tetap dekat dengan I Gede Tambun. Salah seorang temannya itu bernama I Ketut Bancuk (bukan nama sebenarnya).
I Ketut Bancuk, mempunyai seorang kakek yang menekuni ilmu pengobatan dengan sedikit mempraktekkan ilmu "pangleyakan" (black magic). Karena profesinya itu, maka ia tahu bahwa pada hari kajeng Kliwon Uudan akan ada rapat para pengampu ilmu leyak di wilayah itu, seluas kecamatan. Kadung keceplosan si kakek bercerita kepada I Ketut Bancuk : "Tut, nyen di Kanjeng Kliwone teka da pesan Tut pesu, lakar ada rapet leyak di semane dini. " (Ketut, pada saat Kanjeng Kliwon yang akan datang ini, kamu jangan keluar, akan ada rapat leak di wilayah ini). Saat itu tepat tiga hari menjelang kajeng Kliwon. "Nak kak, yang sing ja pesu peteng-peteng" (Ya kek, saya tidak keluar malam-malam), demikian jawabannya. Si kakek memberikan info tersebut kepada cucunya dengan tujuan baik, agar si cucu bebas dari gangguan ilmu sihir leyak.
Berbekal pengetahuan berupa informasi dari kakeknya itu, maka timbul pikiran kreatif Ketut Bancuk. Ia datangi temannya I Gede Tambun secara basa-basi berkata : "beh beli gede, sedeng ngudiang ne" (Hai kakak Gede, sedang ngapain?). Dijawab oleh I Gede Tambun dengan biasa : "kenken Tut, ada kabar apane tumben keli jani teka mai", (Ada apa tut, kok tumben jam segini datang). "Iseng beli malati-lali, inguh jumah sing ada gae" (kebetulan saya jalan'jalan, karena di rumah tidak ada kerjaan), demukian kalau begitu ayo disilahkan duduk di sini kita ngobrol). Maka, duduklah I Ketut Bancuk bersama I Gede Tambun dan dengan cepat ia sudah terlibat dalam obrolan yang tidak ada ujung pangkalnya.
Setelah itu I Gede Tambun berkilah : "Tut ajeng malu kopine, nah beli jani seken matakon, ada apa sujatine? " (Ketut minum kopinya, beli sekarang serius bertanya, sesungguhnya ada apa ini). Langsung dijawab oleh ketut : "Kene beli Gede, apan tiang tusing taen ngelah pipis, jani ada galah lakar ngalih pipis, apa ntak beli Gede milu ajak tiang? " (beginibeli gede, saya tidak pernah punya uang, sekarang ada kesempatan untuk mendapatkan uang, apakah beli gede mau ikut?). "Beh Ketut, tut suba nawang beli mula demen teken pipis, ngunda Tut buin matakon keto? (Beh Ketut kan kamu sudah tahu aku doyan uang, mengapa kamu lagi bertanya seperti itu?). Orahang gae apa ento, dija, buin pidan, asal nyidayang ngarapin" (jelaskan kerjaan apa itu, di mana, kapan, asal saya bisa melakukan). Mendengar ucapan itu Ketut Bancuk sangat gembira, bagaikan gayung bersambut. "Kene beli Gede, kewala sing dadi uyut, pekak tiang ngorahang, buin telun jani di Kajeng Keliwone lakar ada leyak rapet di samane. Sinah ditu liu ada pipis leyak-leyake lakar mayah dedosan, ajaka ja ditu intip tur damprat ia apanga makesiab. Pasti lakar malaib labuh, ditu lantas jemak pipisne" (Begini beli gede, tetapi harus dijaga kerahasiaannya, menurut kakek saya tiga hari lagi akan ada rapat besar para pengampu ilmu hitam di kuburan. Pasti saat itu akan ada banyak uang karena mereka pada bayar denda, di situ kita intip dan buat meteka terkejut. Pasti mereka akan kalang kabut, lalu kita ambil uangnya). "nah yan keto pidabdab ketute, beli milu" (oke, kalau demikian perencanaan mu saya ikut), jawab si Gede. Akhirnya, terjadi kesepakatan berdua bahwa tiga hari pada Hari Kajeng Kliwon ia akan mengintip di kuburan pada pukul sembilan malam. Dengan kesepakatan tersebut Ketut mohon pulang dan meninggalkan rumah I Gede Tambun.
Tersebut sekarang pada saat yang telah ditentukan. Keduanya telah bersedia melaksanakan apa yang mereka telah rencanakan dengan matang. Termasuk datang dari mana dan bagaimana caranya. Tepat pukul sembilan malam, saatnya para pengampu ilmu hitam itu sedang rapat dan sudah semua menyetorkan uang dendanya, maka Gede dan Ketut yang datang dengan mengendus-endus melihat semua kejadian di situ. Memang benar banyak peserta rapat, datang dari seluruh wilayah kecamatan tersebut.
Melihat bahwa uang telah terkumpul di depan pimpinan rapat, yang pada saat itu juga memegang cakepan lontar berisi daftar nama peserta rapat, maka kedua orang itu langsung berteriak lantang sekeras-kerasnya : "taaaaaaaaaang" sambil lari ke tengah-tengah area rapat. Kontan saja peserta semuanya bubar kalang kabut ke segala arah dan tidak ada yang mengurus uang yang terkumpul. Malah daftar nama peserta rapat pun tertinggal di situ. Secepat itu pula Ketut mengambil semua uang yang terkumpul; Gede Ketuthanya melihat ada lontar cakepan saja, maka disambarnya lontar tersebut. Semuanya berlangsung dengan cepat. Kemudian Gede dan Ketut pun pulang aegeea. Suatu operasi yang sukses, karena motivasi Ketut hanya satu mencari uang, sedangkan Gede motivasinya membuktikan apakah memang betul terjadi bahwa ada leak rapat. Dengan demikian, keduanya puas; Ketut mendapatkan uang, Gede menyaksikan pertemuan leak rapat dan malahan dia mendapat bonus berupa lontar cakepan berisi daftar nama para leak di wilayah itu. Lalu bagaimana selanjutnya? Apakah selesai sampai di situ saja?
Ternyata kejadian itu aib bagi dunia perleyakan. Uang tidak masalah, tetapi yang menjadi masalah ialah daftar nama yang ada di dalam lontar cakepan itu. Sebab kalau di baca, maka semua nama akan terbongkar siapa saja yang menekuni ilmu hitam tersebut. Memang benar, lontar itu dibaca I Gede, maka ia tahu nama leak di wilayahnya. Bukan hanya itu, ia pun tahu sanak saudara dekatnya yang juga menekuni ilmu itu. Bagaimana dengan Ketut? Ketut tidak pernah hirauhiraukan dengan lontar itu, karena ia tidak bisa membaca huruf bali.
Dengan dikuasainya lontar itu oleh I Gede, maka sejak itu pula keluarga I Gede menjadi pusat perhatian dan sasaran para lrak. Tujuannya untuk membinasakan I Gede dan mengambil kembali lontar tersebut. Dari hari ke hari, sejak I Gede menguasai lontar itu, selalu saja ada yang membuntutinya. Ke manapun Gede pergi siang apalagi malam, selalu saja ada binatang atau jadi-jadian lainnya yang menguntitnya dari belakang. KaKadang-kadang berbentuk kuluk bengil (anak ananjing), pitik (anak ayam), angsa, kucing dan lain-lainnya. Malahan, saat istrinya sedang hamil, kehamilannya tidak bisa lahir dengan selamat. Sampai-sampai Gede jatuh sakit. Semuanya itu dilewati Gede dengan tabah. Setiap penderitaannya selalu saja ada jalan dan pihak yang menolongnya. Gede pun tahu, bahwa penyebabnya karena ia membawa lontar itu. Apakah ia lalu menyerahkan lontar itu? Tidak, lontar itu disimpannya sendiri, sampai saat tulisan ini dibuat. Malahan pada suatu hari, lontar itu dibawa ke rumah seseorang teman dekatnya dan dibacanya bersama di situ. Teman dekatnya itu adalah teman sekolahan dengan profesi sama sebagai pegawai Negeri dengan sama-sama menekuni bidang keguruan. Pada kesempatan itu, terjadi gelak tawa mereka berdua, karena mengetahui nama orang-orang atau saudara-saudaranya yang mengampu ilmu hitam. Betul-betul tidak terduga sebelumnya. Pada saat itu membaca nama x dan y dijawab langsung oleh Gede bahwa itu nama bibinya.
Yang menarik mengapa Gede selalu berhasil mengatasi gangguan yang dialami? Padahal ia seolah-olah dikeroyok oleh banyak leyak di daerah itu? Jawabannya juga juga secara kebetulan. Gede adalah seorang pelajar jaman dahulu, ia dibimbing oleh seorang guru spiritual yang sangat tetsohor pada saat itu. Gurunya itulah yang memberikan ilmu serta membukakan mata batinnya, serta mengisinya dengan huruf gaib pada diri Gede. Dengan bekal dan huruf sandi itu ia mempunyai sifat seolah-olah kebal atau anti-leyak. Para pengampu ilmu hitam tersebut tidak mampu memangsa Gede. Seperti makan karet, demikian kesan para leyak itu. Betul juga akibat dari guru spiritualnya itu ia menjadi orang seperti itu, padahal Gede sendiri tidak sadar dan tidak mengetahui hal itu. Gurunya itu tidak lain adalah seorang pemgamal ajaran kedyatmikan yang sangat handal, seorang pejuang, dan seorang pendidik. Beliau itu adalah almarhum Bapak I Gusti Bagus Sugriwa. Mungkin dengan sifat Gede seperti itu akhirnya perjuangan leyak menjadi susut dengan sendirinya, sehingga lontar daftar nama leyak itu ada pada diri Gede sampai saat ini.
I Ketut Bancuk, mempunyai seorang kakek yang menekuni ilmu pengobatan dengan sedikit mempraktekkan ilmu "pangleyakan" (black magic). Karena profesinya itu, maka ia tahu bahwa pada hari kajeng Kliwon Uudan akan ada rapat para pengampu ilmu leyak di wilayah itu, seluas kecamatan. Kadung keceplosan si kakek bercerita kepada I Ketut Bancuk : "Tut, nyen di Kanjeng Kliwone teka da pesan Tut pesu, lakar ada rapet leyak di semane dini. " (Ketut, pada saat Kanjeng Kliwon yang akan datang ini, kamu jangan keluar, akan ada rapat leak di wilayah ini). Saat itu tepat tiga hari menjelang kajeng Kliwon. "Nak kak, yang sing ja pesu peteng-peteng" (Ya kek, saya tidak keluar malam-malam), demikian jawabannya. Si kakek memberikan info tersebut kepada cucunya dengan tujuan baik, agar si cucu bebas dari gangguan ilmu sihir leyak.
Berbekal pengetahuan berupa informasi dari kakeknya itu, maka timbul pikiran kreatif Ketut Bancuk. Ia datangi temannya I Gede Tambun secara basa-basi berkata : "beh beli gede, sedeng ngudiang ne" (Hai kakak Gede, sedang ngapain?). Dijawab oleh I Gede Tambun dengan biasa : "kenken Tut, ada kabar apane tumben keli jani teka mai", (Ada apa tut, kok tumben jam segini datang). "Iseng beli malati-lali, inguh jumah sing ada gae" (kebetulan saya jalan'jalan, karena di rumah tidak ada kerjaan), demukian kalau begitu ayo disilahkan duduk di sini kita ngobrol). Maka, duduklah I Ketut Bancuk bersama I Gede Tambun dan dengan cepat ia sudah terlibat dalam obrolan yang tidak ada ujung pangkalnya.
Setelah itu I Gede Tambun berkilah : "Tut ajeng malu kopine, nah beli jani seken matakon, ada apa sujatine? " (Ketut minum kopinya, beli sekarang serius bertanya, sesungguhnya ada apa ini). Langsung dijawab oleh ketut : "Kene beli Gede, apan tiang tusing taen ngelah pipis, jani ada galah lakar ngalih pipis, apa ntak beli Gede milu ajak tiang? " (beginibeli gede, saya tidak pernah punya uang, sekarang ada kesempatan untuk mendapatkan uang, apakah beli gede mau ikut?). "Beh Ketut, tut suba nawang beli mula demen teken pipis, ngunda Tut buin matakon keto? (Beh Ketut kan kamu sudah tahu aku doyan uang, mengapa kamu lagi bertanya seperti itu?). Orahang gae apa ento, dija, buin pidan, asal nyidayang ngarapin" (jelaskan kerjaan apa itu, di mana, kapan, asal saya bisa melakukan). Mendengar ucapan itu Ketut Bancuk sangat gembira, bagaikan gayung bersambut. "Kene beli Gede, kewala sing dadi uyut, pekak tiang ngorahang, buin telun jani di Kajeng Keliwone lakar ada leyak rapet di samane. Sinah ditu liu ada pipis leyak-leyake lakar mayah dedosan, ajaka ja ditu intip tur damprat ia apanga makesiab. Pasti lakar malaib labuh, ditu lantas jemak pipisne" (Begini beli gede, tetapi harus dijaga kerahasiaannya, menurut kakek saya tiga hari lagi akan ada rapat besar para pengampu ilmu hitam di kuburan. Pasti saat itu akan ada banyak uang karena mereka pada bayar denda, di situ kita intip dan buat meteka terkejut. Pasti mereka akan kalang kabut, lalu kita ambil uangnya). "nah yan keto pidabdab ketute, beli milu" (oke, kalau demikian perencanaan mu saya ikut), jawab si Gede. Akhirnya, terjadi kesepakatan berdua bahwa tiga hari pada Hari Kajeng Kliwon ia akan mengintip di kuburan pada pukul sembilan malam. Dengan kesepakatan tersebut Ketut mohon pulang dan meninggalkan rumah I Gede Tambun.
Tersebut sekarang pada saat yang telah ditentukan. Keduanya telah bersedia melaksanakan apa yang mereka telah rencanakan dengan matang. Termasuk datang dari mana dan bagaimana caranya. Tepat pukul sembilan malam, saatnya para pengampu ilmu hitam itu sedang rapat dan sudah semua menyetorkan uang dendanya, maka Gede dan Ketut yang datang dengan mengendus-endus melihat semua kejadian di situ. Memang benar banyak peserta rapat, datang dari seluruh wilayah kecamatan tersebut.
Ilmu Leak
Melihat bahwa uang telah terkumpul di depan pimpinan rapat, yang pada saat itu juga memegang cakepan lontar berisi daftar nama peserta rapat, maka kedua orang itu langsung berteriak lantang sekeras-kerasnya : "taaaaaaaaaang" sambil lari ke tengah-tengah area rapat. Kontan saja peserta semuanya bubar kalang kabut ke segala arah dan tidak ada yang mengurus uang yang terkumpul. Malah daftar nama peserta rapat pun tertinggal di situ. Secepat itu pula Ketut mengambil semua uang yang terkumpul; Gede Ketuthanya melihat ada lontar cakepan saja, maka disambarnya lontar tersebut. Semuanya berlangsung dengan cepat. Kemudian Gede dan Ketut pun pulang aegeea. Suatu operasi yang sukses, karena motivasi Ketut hanya satu mencari uang, sedangkan Gede motivasinya membuktikan apakah memang betul terjadi bahwa ada leak rapat. Dengan demikian, keduanya puas; Ketut mendapatkan uang, Gede menyaksikan pertemuan leak rapat dan malahan dia mendapat bonus berupa lontar cakepan berisi daftar nama para leak di wilayah itu. Lalu bagaimana selanjutnya? Apakah selesai sampai di situ saja?
Ternyata kejadian itu aib bagi dunia perleyakan. Uang tidak masalah, tetapi yang menjadi masalah ialah daftar nama yang ada di dalam lontar cakepan itu. Sebab kalau di baca, maka semua nama akan terbongkar siapa saja yang menekuni ilmu hitam tersebut. Memang benar, lontar itu dibaca I Gede, maka ia tahu nama leak di wilayahnya. Bukan hanya itu, ia pun tahu sanak saudara dekatnya yang juga menekuni ilmu itu. Bagaimana dengan Ketut? Ketut tidak pernah hirauhiraukan dengan lontar itu, karena ia tidak bisa membaca huruf bali.
Dengan dikuasainya lontar itu oleh I Gede, maka sejak itu pula keluarga I Gede menjadi pusat perhatian dan sasaran para lrak. Tujuannya untuk membinasakan I Gede dan mengambil kembali lontar tersebut. Dari hari ke hari, sejak I Gede menguasai lontar itu, selalu saja ada yang membuntutinya. Ke manapun Gede pergi siang apalagi malam, selalu saja ada binatang atau jadi-jadian lainnya yang menguntitnya dari belakang. KaKadang-kadang berbentuk kuluk bengil (anak ananjing), pitik (anak ayam), angsa, kucing dan lain-lainnya. Malahan, saat istrinya sedang hamil, kehamilannya tidak bisa lahir dengan selamat. Sampai-sampai Gede jatuh sakit. Semuanya itu dilewati Gede dengan tabah. Setiap penderitaannya selalu saja ada jalan dan pihak yang menolongnya. Gede pun tahu, bahwa penyebabnya karena ia membawa lontar itu. Apakah ia lalu menyerahkan lontar itu? Tidak, lontar itu disimpannya sendiri, sampai saat tulisan ini dibuat. Malahan pada suatu hari, lontar itu dibawa ke rumah seseorang teman dekatnya dan dibacanya bersama di situ. Teman dekatnya itu adalah teman sekolahan dengan profesi sama sebagai pegawai Negeri dengan sama-sama menekuni bidang keguruan. Pada kesempatan itu, terjadi gelak tawa mereka berdua, karena mengetahui nama orang-orang atau saudara-saudaranya yang mengampu ilmu hitam. Betul-betul tidak terduga sebelumnya. Pada saat itu membaca nama x dan y dijawab langsung oleh Gede bahwa itu nama bibinya.
Yang menarik mengapa Gede selalu berhasil mengatasi gangguan yang dialami? Padahal ia seolah-olah dikeroyok oleh banyak leyak di daerah itu? Jawabannya juga juga secara kebetulan. Gede adalah seorang pelajar jaman dahulu, ia dibimbing oleh seorang guru spiritual yang sangat tetsohor pada saat itu. Gurunya itulah yang memberikan ilmu serta membukakan mata batinnya, serta mengisinya dengan huruf gaib pada diri Gede. Dengan bekal dan huruf sandi itu ia mempunyai sifat seolah-olah kebal atau anti-leyak. Para pengampu ilmu hitam tersebut tidak mampu memangsa Gede. Seperti makan karet, demikian kesan para leyak itu. Betul juga akibat dari guru spiritualnya itu ia menjadi orang seperti itu, padahal Gede sendiri tidak sadar dan tidak mengetahui hal itu. Gurunya itu tidak lain adalah seorang pemgamal ajaran kedyatmikan yang sangat handal, seorang pejuang, dan seorang pendidik. Beliau itu adalah almarhum Bapak I Gusti Bagus Sugriwa. Mungkin dengan sifat Gede seperti itu akhirnya perjuangan leyak menjadi susut dengan sendirinya, sehingga lontar daftar nama leyak itu ada pada diri Gede sampai saat ini.
No comments:
Post a Comment