Monday, April 30, 2018

CARA MENEMUKAN KECERDASAN ANAK

CARA MENEMUKAN KECERDASAN ANAK

Kadang kita mendengar seseorang berkata, "Tidak ada anak yang bodoh, yang ada hanya anak malas." Menurut saya, kalimat itu ada benarnya. Satu contoh dari sekian banyak orang berakhir sukses dalam kehidupannya adalah Basrizal Koto seperti dikisahkan dalam buku Hidup Sukses Cara Sains. Semasa kecil, dia mengalami kemiskinan dan tidak berhasil menamatkan pendidikan dasarnya, yang kemudian menemukan kondisi akhir terbaiknya sebagai pengusaha. Koto, tidak menamatkan sekolah tentu bukan karena ia bodoh, melainkan karena tak punya biaya, yang mirip dengan cerita Lintang dalam Laskar Pelangi. Sesungghnya, Koto memiliki potensi kecerdasan yang besar.

Saya tak bermaksud meniadakan fungsi sekolah bahwa koto tidak perlu sekolah untuk menjadi seorang pengusaha seperti sekarang karena aekolah mampu mempercepat penemuan kondisi akhir terbaik. Sekolah atau secara umum, pendidikan bagi para filusuf, lebih dari sekedar bisa apa. Sejatnoinya, fungsi pendidikan seperti piramida terbalik, yakni ujung lancip piramida merupakan wilayah kognitif dan wilayah paling luas dan teratas adalah akhlak (afektif). Saya telah mengembangkan skema ini dalam mengembangkan model sekolah multiple intellgence, sekolah yang memegang teguh prinsip Howard Gardner.

Sekolah multiple Intellgences lebih menekankan pada proses pengajaran berkualitas daripada penerimaan murid baru yang memenuhi kuota saat seleksi dan kelulusan murid yang "tidak adil". Proses pengajaran berkualitas akan berorientasi pada "bukan sebesar apa kecerdasan anda, melainkan bagaimana anda menjadi cerdas". Sering kali, saat wawancara dengan orang tua calon murid, saya menegaskan, jika para orang tua ingin anaknya menjadi juara dengan peringkat dan nilai sempurna, maka sekolah bukan tempatnya. Kemudian, saya akan mempersilahkan para orang tua tersebut untuk mencari sekolah lain, terkadang langsung saya sebutkan nama lain sekolah tersebut. Selanjutnya, saya mrmberikan penjelasan bahwa seandainya para orang tua mencari proses pembelajaran terbaik dengan prinsip Sekolah Anak-anak juara atau sekolahnya Manusia yang mengacu pada piramida terbalik, sekolah kamilah tempatnya. Banyak orang tua calon murid akhirnya setuju dengan pilihan ke dua, tetapi tidak sedikit juga yang memilih sekolah dengan seleksi masuk ketat dan berstandar psikotes.


Semua manusia yang terlahir, dan sepanjang masih punya otak, tentunya memiliki jenis kecerdasan tertentu, apakah dia termasuk berkebutuhan khusus atau bukan. Sekolah yang nekat meneguhkan dirinya aebagai Sekolah anak-anak juara, menerima banyak kondisi keanekaragaman kecerdasan siswa. Hampir dalam setiap kelas terdapat dua anak berkebutuhan khusus dan murid dengan bermacam hambatan belajar atau slow learner, beberapa murid Dengan multi kecerdasan, serta tidak sedikit muris dengan kategori fast learner atau pembelajar cepat. Perlu anda ketahui, tidak ada murid bodoh di sekolah tersebut sehingga sekolah itu punya label tersendiri, yaitu sekolah para juara.

Jika pada dasarnya semua murid punya potensi kecerdasan yang sangat beragam, sekolah juga punya peranan utama dalam mengembangkan proses pembelajaran yang kreatif dalam mamantik minat belajar dan berpikir murid. Kika diasumsikan banyak murid yang belum mampu mengeluarkan gagasan dan idenya dengan baik, penyebabnya bisa jadi karena proses keterampilan dan idenya dengan baik, penyebabnya bisa jadi karena proses ketrampilan berpikir yang belum dimaksimalkan dalam proses belajar-mengajar.

Ketrampilan berpikir dan kesuksesan seseorang di masa depan banyak dipengaruhi oleh masa pendidikan yang dijalaninya. Prinsip guru mengajar dan murid belajar memengaruhi mandulnya ketrampilan berpikir siswa. Edward de Bono, seorang profesor fisika menyebutkan dalam bukunya, Revolusi Berpikir, bahwa sekolah punya tradisi sempit dalam mengajarkan keterampilan berpikit. Sementara itu, guru di banyak sekolah pun lebih mudah meletakkan lembar kerja murid, buku, teks, dan soal-soal di papan tulis kepada murid-murid, kemudian meminta mereka memberikan reaksi terhadap apa yang ada di hadapan mereka itu.

Keterampilam berpikir yang diungkapkan de Bono ini cinderung reaktif dan tidak masuk pada ranah berpikir operasional, sedangkan metodologi pengajaran modern lebih menekankan untuk melibatkan murid dalam berpikir oprrasional. Prinsip inilah yang disebut Elaine Johnson sebagai "contextual teaching learning" atau CTL.

No comments:

Post a Comment